Kristus Dan Kebudayaan

Kristus Dan Kebudayaan

Tokoh yang banyak memberikan perhatian dan menggeluti mengenai Kristus dan kebudayaan adalah Richard Niebuhr. Dia adalah seorang etikus teologia Kristen Amerika yang paling terkenal dengan bukunya Christ and Culture, yang membahas tentang hubungan antara kekristenan dan kebudayaan maupun sistem-sistem kemasyarakatan. Dimana hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara kekristenan dan kebudayaan akan berkembang menjadi sesuatu yang bisa diperdebatkan ketika manusia mengetahui bahwa Kristus atau kekristenan itu sendiri adalah suci, sempurna, dan tidak berdosa, sementara, budaya adalah buatan manusia, dimana manusia itu sendiri penuh dosa.

Dari hal di atas timbulah pertanyaan;

Bagaimana Kristus dapat bertahan di tengah-tengah dan bercampur dengan ketidaksempurnaan tersebut?

Hal ini semakin dipermasalahkan lagi mengingat banyaknya ayat-ayat Alkitab yang mengharuskan kita untuk tidak menjadi seperti dunia, sementara banyak juga ayat-ayat yang mengharuskan tetap berada di dunia, sebagaimana adanya manusia. Untuk menunjukan bagaimana  kekristenan menanggapi permasalahan ini, Richard Niebuhr memperkenalkan lima pandangannya mengenai hubungan antara Kristus dan Budaya, yang antara lain: Christ against Culture, Christ of Culture, Christ above Culture, Christ and Culture in paradox, Christ transforms culture.

Dalam memulai ulasannya maka dalam pendahuluan teorinya, Niebuhr mengajak kita untuk mengerti arti/defenisi supaya tidak salah arah dan salah tafsir. Defenisi tentang Kristus dan defenisi tentang kebudayaan harus mendapatkan tempat arti yang dalam. Misalna saja tentang Yesus, ia berpendapat bahwa definisi manusia tentang Yesus tidaklah cukup (mengingat bahwa manusia tidak akan pernah bisa menjangkau dan memahami hakikat Yesus secara total, dengan kenyataan bahwa konsep tentang Yesus itu sendiri telah sedemikian rupa sangat dipengaruhi oleh eksistensi kebudayaan yang telah menempel dalam perjalanan hidup manusia sejak lahir). Kebudayaan, oleh Niebuhr, didefinisikan sebagai total proses dari aktivitas manusia dan segala manifestasinya, yang mengacu kepada lingkungan atau hal-hal sekunder (seperti adat isitadat, system-sistem kemasyarakatan, norma-norma, dll) yang manusia implementasikan ke dalam kehidupannya.

  1. Christ against Culture (Kristus vs kebudayaan)

Ini adalah pandangan yang cukup keras menegaskan tentang otoritas tunggal Kristus terhadap kebudayaan dan menolak segala hal-hal yang diyakini oleh budaya. Menurut pandangan ini, kesetiaan kepada Kristus merupakan suatu penolakan terhadap lingkungan atau system budaya, dan bahwa ada suatu garis yang dengan tegas memisahkan dunia dengan anak-anak Allah.

  1. Christ of Culture (Kristus dari Budaya)

Dalam pandangan ini, manusia memposisikan Yesus sebagai Mesias dalam suatu lingkungan social mereka, sosok yang dapat memenuhi segala harapan dan aspirasi mereka, penyempurna keyakinan mereka, sumber dari roh kudus mereka. Orang yang menganut paham ini cenderung lebih terbuka untuk menjalin pertemanan atau hubungan bukan hanya dengan mereka yang percaya tapi juga dengan mereka yang tidak percaya. Mereka juga tidak bisa menemukan perbedaan yang signifikan antara gereja dan dunia, antara hokum-hukum sosial dengan dan kepercayaan pada Tuhan, antara etika keselamatan dan etika social. Di satu sisi, mereka menginterpretasikan kebudayaan melalui Kristus, dimana aspek yang paling mirip dengan Yesus mendapat penghormatan dan apresiasi lebih besar. Di sisi lain, mereka menginterpretasikan Kristus melalui budaya, menseleksi dari pengajaran-pengajaran Kristen yang paling harmonis dengan system-sistem sosial dan budaya mereka, itulah yang akan mereka aplikasikan dalam kehidupan mereka.

  1. Christ above Culture (Kristus dan Kebudayaan).

Pandangan ini sama sekali tidak menghadirkan pertentangan antara Kristus dengan budaya. Yang dihadirkan justru adalah pertentangan antara Kristus yang suci dengan manusia yang berdosa. Penganut paham ini menekankan bahwa Kristuslah yang berada di atas segala budaya, yang membentuk dan mengijinkannya untuk terjadi, maka dari itu budaya tidak bisa dikatakan buruk, tapi juga tidak bisa dikatakan baik. Ketika seorang manusia melakukan dosa, lalu kemudian mengekspresikan pemberontakannya kepada Tuhan lewat suatu bentuk-bentuk budaya, itu juga tidak mengartikan bahwa budaya merupakan suatu yang buruk. Mereka mengatakan bahwa budaya ada karena Kristus yang menciptakannya secara penuh, dan mereka melihat bahwa keselarasan antara Kristus dan budaya adalah sebuah jawaban yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan. Menurut Niebuhr, penganut paham ini tidak bisa membedakan antara pekerjaan manusia (yang adalah budaya) dari kemuliaan Tuhan, karena semua pekerjaan manusia itu bisa terjadi juga karena kemuliaan Tuhan. Tapi mereka juga tidak bisa memisahkan antara pengalaman akan kemuliaan Tuhan dari aktivitas budaya mereka, karena bagaimana mungkin seseorang bisa mencintai Allah yang tidak kelihatan, tanpa melayani saudara-saudara mereka yang kelihatan?

  1. Christ and  Culture in paradox (Kristus dan Budaya dalam paradoks)

Ini adalah paham yang kurang lebih mirip dengan Christ above culture. Perbedaannya adalah, ketika penganut paham ini berkeinginan untuk mempertahankan kesetiaan pada Kristus dan sisi lain juga ingin mempertahankan tanggung jawab terhadap budaya secara bersama-sama, mereka percaya bahwa integrasi ini bukanlah suatu hal yang seimbang dan menyenangkan, seperti yang penganut above-culture rasakan. Mereka menekankan bahwa ada sebuha paradoks, dimana konflik yang terjadi antara Kristus dan budaya disebabkan karena dosa yang terdapat dalam budaya.

  1. Christ transforms Culture (Kristus yang bertransformasi ke dalam kebudayaan)

Ini adalah sebuah paham yang paling disarankan oleh Niebuhr, dimana secara teologis, pandangan ini memiliki 3 garis besar, yaitu melihat Tuhan sebagai pencipta, menyadari bahwa kejatuhan manusia dari sesuatu yang baik, dan memandang bahwa kita merasakan interaksi antara Tuhan dengan manusia dalam perjalanan hidup manusia yang historis. Maka dari itu, penganut paham ini percaya bahwa kebudayaan manusia adalah kehidupan manusia yang telah ditransformasikan ke dalam dan di dalam kemuliaan Tuhan. Pada prakteknya, pandangan ini memiliki arti bahwa we bekerja dalam sebuah lingkup budaya untuk mengupayakan sesuatu yang lebih baik, karena Tuhan pada dasarnya telah menberikan manusia kretifitas, dan itu baik (dan jelas bisa menjadi baik). Kita juga bisa berkontribusi dalam pekerjaan transformasi ini, karena ketika di dalam budaya ada dosa, masih ada harapan melalui Kristus, untuk penyelamatan budaya itu sendiri. Lebih jauh lagi, kita akan mengalahkan dosa bukan dengan cara menjauhinya ataupun dengan memeranginya secara langsung, namun dengan bentuan mata manusia yang tertuju pada Yesus, dan niat kita yang positif dan berorientas padaNya, akan membuat kita mampu mengalahkan dosa.


Sumber: Richard Niebuhr, Christ And Culture

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published.