Tuhan Ambil Jalan Memutar // Pdt. Daud Sembiring

Tuhan Ambil Jalan Memutar // Pdt. Daud Sembiring


Jalan dari Jakarta ke Cirebon lurus ke arah timur. Tetapi karena banjir, semua mobil dan kereta api “dibuang” ke selatan. Terpaksalah kita mengambil jalan memutar melewati Bandung, Tasikmalaya, Wagon lalu belok ke utara melewati Bumiayu dan Tegal, kemudian belok Kembali ke barat menuju Cirebon.

Apa perasaan kita ketika harus memilih jalan memutar itu? Senang? Tentu tidak! Kita kecewa, geram dan jengkel! Kita menderita. Waktu perjalanan menjadi lebih lama. Jarak menjadi lebih jauh. Biaya menjadi lebih mahal. Pokoknya kita jengkel. Tetapi masakan tidak ada pemandangan indah di jalan memutar itu? Pasti ada, asa saja kita mau memandangnya. Yang diperlukan adalah keterbukaan hari untuk mau memandang dan menikmati hal-hal yang indah di jalan putar itu.

Jalan-jalan hidup kita juga kadang-kadang harus memutar. Ketika jalan kita sedang lurus dan lancar, tiba-tiba kita “dibuang” ke arah lain. Mendadak kita sakit dan sekian minggu kita harus berbaring. Atau, melepaskan kuliah kedokteran dan terpaksa mencari nafkah karena ayah meninggal dunia. Atau perusahaan, tempat kita bekerja bangkrut sehingga terpaksa kita pindah kerja dengan suasana yang lebih  buruk. Atau 1001 macam jalan putar lainnya.

Siapa yang tidak menjadi sedih, kecewa dan terpukul ketika jalan hidupnya harus berputar? Tetapi siapa tahu di balik jalan memutar itu ada hikmahnya. Yang sulit adalah bersikap terbuka untuk mau memandang hikmah itu.



Agaknya orang yang begitu banyak menempuh jalan putar dalam cerita Alkitab adalah Musa. Begitu lahir ia harus menempuh jalan putar, yaitu dijauhkan dari orang tuanya dan disembunyikan di tepi sungai karena terancam dibunuh. Lalu ditemukan oleh putri raja dan dibesarkan di lingkungan istana.

Kemudian hari Musa harus menempuh jalan putar yang lain lagi, yaitu melarikan diri ke gurun. Selama empat puluh tahun ia bersembunyi di gurun. Bayangkan penderitaannya, berganti jalan hidup dari seorang putra raja di istana menjadi gembala ternak di gurun.

Selanjutnya ada lagi jalan putar lain yang menjengkelkan. Musa harus memimpin perjalanan sebuah umat yang susah diatur, keras kepala dan tidak tahu terima kasih. Akibatnya, perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam beberapa bulan saja terpaksa memakan waktu selama empat puluh tahun.

Ketika Musa tiba diperbatasan masuk negeri tujuan, ia sudah berusia 120 tahun. Ia termenung membayangkan kembali jalan hidupnya dari masa kecil.  Begitu banyak jalan putar. Begitu banyak kejengkelan namun begitu banyak juga kebahagiaan. Lalu ia bernyanyi,

Pasanglah telingamu, hai langit

Aku mau berbicara

Dan baiklah bumi mendengarkan ucapan mulutku

Sebab nama Tuhan akan kuserukan:

Berilah hormat kepada Allah kita.

Gunung Batu, yang pekerjaanNya sempurna,

Karena segala jalanNya adil,

Allah yang setia, dengan tiada kecurangan,

Adil dan benar Dia.

(Ul 32:1,3,4)

 


Perhatikanlah kesimpulan yang dibuat Musa tentang segala jalan putar hidupnya. Ia tidak merasa getir, pahit dan marah. Sebaliknya, ia mengaku telah memperoleh lindungan dari Tuhan sebagai “Gunung Batu yang pekerjaan-Nya sempurna” (ay 4a). Ia bersaksi bahwa “segala jalan-Nya adil” (ay 4b) sepanjang jalan hidup yang berputar itu. Ia menyimpulkan bahwa Tuhan telah “….setia, dengan tiada kekurangan, adil dan benar….” (ay 4-6). Sebab itu, ia memberi hormat kepada Tuhan (ay 3).

Jalan hidup kita tidak selalu lurus dan mulus sebagaimana direncanakan. Ada saatnya Tuhan mengajak kita menempuh jalan putar. Memang itu berarti buang waktu, buang tenaga dan buang uang. Namun, mungkin Tuhan mempunyai maksud yang baik untuk kita. Mungkin dibalik itu ada hikmah. Soalnya, maukah kita melihat dan mengakui hal-hal baik yang kita petik dari jalan putar itu.

Kao Chung Ming, Pendeta Gereja Presbiterian Taiwan mengalami jalan putar seperti itu. Ia dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan melindungi orangn-orang yang melawan pemerintah. Ia sedih karena pelayanannya sebagai pendeta jadi terhenti. Tetapi kemudian ternyata ia malah bisa berguna bagi banyak orang di penjara. Ia memberitakan Injil kepada para penjaga dan tahanan. Lagipula,  gereja di seluruh negeri jadi tahu dan mendukung gereja Presbiterian Taiwan dalam membela kaum minoritas yang didiskriminasi pemerintah.

Pada suatu hari, Pdt. Kao menulis sebuah sajak yang dimuat di majalah World Council og Churches dan naskah otografnya saya terima dari istrinya di Pertemuan Ekumenis Wanita Asia di Sukabumi sebagai berikut:

Jalan Allah

Aku meminta Tuhan

Setangkai bunga segar

Namun ia memberiku kaktus

Jelek dan berduri

Aku meminta Tuhan

Beberapa ekor kupu-kupu

Namun ia memberi ulat menjijikkan.

Aku terpukul,

Kecewa,

Sedih.

Tetapi beberapa hari kemudian

Tiba-tiba

Aku melihat kaktus itu berbunga

Dengan bunga yang begitu indah

Dan ulat itu

Berubah menjadi kupu-kupu

Indah mempesona

Terbang dalam angin musim semi.

Jalan Allah adalah baik.


Di dalam hidup ini Tuhan mungkin mengajak kita mengambil jalan putar. Kita sebetulnya mau kearah itu, namun “dibuang” ke arah ini. Kita mau keadaan begitu, namun jadinya keadaan begini. Menjengkelkan, menyedihkan dan mengecewakan. Namun di jalan putar itu pasti ada pemandangan indah, asal saja kita mau memandangnya.

Ketika jalan hidup kita berputar, Tuhan tetap menjadi penghantar. Ia tidak akan meninggalkan kita meskipun hanya sebentar.


 

Sumber: Andar Ismail, Selamat Mewaris

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published.