Moria GBKP Di Mata Seorang Mamre (Sebuah Refleksi Tentang Kehadiran Moria GBKP Sebagai Seorang Perempuan, Ibu dan Istri) // Pdt. Daud Sembiring

Keluarga Pdt. Daud Sembiring

Moria GBKP Di Mata Seorang Mamre (Sebuah Refleksi Tentang Kehadiran Moria GBKP Sebagai Seorang Perempuan, Ibu dan Istri) // Pdt. Daud Sembiring

Moria GBKP, itu bukan sebutan biasa bagiku tapi nama yang menggetarkan jiwa ragaku. Kenapa? Karena hadirnya memiliki arti dalam hidupku, keluargaku, gereja dimana aku mendapat panggilan tri tugas gereja (bersekutu, bersaksi dan melayani), dan di masyarakat dimana aku tinggal, dibesarkan dan hidup sebagai bagian dari orang kebanyakan. Menelisik sejenak bagaimana dia terlahir sebagai sebuah persekutuan kaum ibu GBKP, itu bukan karena kecelakaan sejarah tapi yang pernah mengukir sejarah dan terus akan berbuat sesuatu sebagai bukti dia ada, hadir dan berperan. Dia hadir menjadi sejarah penting dalam peran dan kiprahnya. Hadirnya adalah jawaban iman di tengah persoalan-persoalan iman, sosial dan kebangsaan.

Kita akan ambil contoh persoalan kebangsaan di depan mata, pada tanggal 9 Desember 2020 ini akan dilaksanakannya pilkada serentak di Indonesia. Pilkada yang mana disana ada Moria GBKP baik di tingkat Provinsi (Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau), tingkat Kota (Medan, Binjai, Sibolga, Tj. Balai, Pematang Siantar, Batam, Depok dan Semarang, maupun tingkat Kabupaten (Sergai, Karo, Simalungun, dan Nias Selatan). Dari data tersebut, aku yakin dan percaya, Moria GBKP tidak akan absen dalam kancah perpolitikan ini. Harapanku, Moria sebagai persekutuan tidak akan masuk dalam ranah politik praktis, mobilisasi massa, kendaraan politik orang tertentu yang memakai nama Moria GBKP tapi masuk dalam ranah politik moral. Jika memang Moria secara pribadi terjun dalam politik praktis maka aku yakin mereka akan dibekali dengan karakter yang takut akan Tuhan, integritas yang teruji dan moral yang baik. Kenapa harus karakter, integritas dan moralnya menjadi PR Moria? Karena ini bukan persoalan agama dan suku saja tapi persoalan kebangsaan, rakyat banyak dan panggilan dari Tuhan. Dan, saya percaya Moria GBKP pasti akan sanggup bersama Tuhan. Dia pasti akan menjadi nande di tengah panasnya suasana perpolitikan ini yang bisa aja membawa perpecahan dalam keluarga, gereja, perkade-kaden dsb. Hadirnya diharapkan tetap menjaga kedamaian, kesatuan dan keteduhan seperti seorang ibu dalam berbedanya anak-anaknya tetap memiliki jiwa pemersatu. Jiwa “nandenya, keibuannya” sangatlah diharapkan saat panggilan ibu pertiwi memanggilnya membawa kegembiraan di panggung perpolitikan. Itu harapanku kepada Moria GBKP.



16 Oktober 1957 adalah hari lahirnya dan hari ini, Jumat 16 Oktober 2020 genap sudah umurnya yang ke 63 tahun. Hari yang paling bersejarah bagi Moria GBKP dan hari-hari yang telah dan akan dilewatinya pastilah menjadi torehan sejarah yang tak akan pupus ditelan waktu. Usia yang sudah cukup matang dan panjang bagiku untuk melihat roda pelayanan dalam perjalanannya sebagai sebuah persekutuan kaum ibu GBKP. Dalam perjalanan pelayanannya pastilah sudah melewati beragam kisah yang bisa diceritakan ulang beserta dengan maknanya baik suka maupun duka. Mungkin dia lelah tapi aku yakin dia tak pernah menyerah. Dan aku yakin dan percaya hadirnya akan memberi secercah harapan bagi gereja Tuhan, GBKP ini dan kemuliaan bagi Kristus Jesus sang Kepala Gereja.

Moria GBKP, punya sejarah dan catatan penting untuk kutuliskan dalam pertumbuhan iman dan karakterku. Ibuku itu seorang moria GBKP. Dia mengasah dan membentuk dasar-dasar imanku bahkan dibimbingnnya semakin dewasa. Semangat juangku adalah dari dia. Karakter dan mentalku diisinya. Kata-kata yang masih terngiang dalam telinga ini bahkan masih nyaring bersuara dalam hati, “Hargai hidup meski sekejap mata. Ukirlah sejarah meskipun kecil. Umur boleh singkat, tapi berbuatlah sesuatu yang tidak  bisa ditelan waktu.” Sekarang aku juga punya seorang moria, ibu bagi anak-anakku. Sentuhan hati dan tangannya  memberikan warna bagiku dan anak-anakku. Hidup menjadi lebih berarti karena dia. Sebagai seorang ibu bagi anak-anakku, dialah benteng terkuat dalam mendidik anak-anak bagaimana takut akan Tuhan dan menyanyangi orang lain. Mendengar dua sosok Moria yang mengisi hari-hariku itu, sejenak kutolehkan anak gadisku yang masih usia 5,9 tahun dan 2,9 tahun. Bisikku dalam hati, “anak-anakku, kalian berdua juga pasti akan menjadi Moria masa depan. Jadilah pembawa syalom Allah dimana kalian hadir.”



Moria GBKP, memang dia hadir dalam satu wujud, satu raga tapi bisa hadir dalam tiga peran dan di tiga tempat sekaligus. Perannya sebagai seorang perempuan, ibu dan istri dalam dunia keluarga, gereja dan masyarakat. Ajaran teologia yang aku percaya selama ini, bahwa perempuan itu diambil dari tulang rusuk laki-laki sehingga ia sangat dekat dengan hati suaminya. Tidak lebih rendah dan lebih tinggi dari suaminya tapi setara dan sederajat. Tapi sejenak aku termenung dan terhenyak melihat perannya yang begitu banyak. Dia memang dicipta dari tulang rusuk tapi hadirnya, perannya laksana tulang punggung. Atau inikah yang orang karo sebut sebagai “Nande” ingan tertande. Benarkah demikian? Memang aku melihat bahwa menjadi “ingan tertande” tidak cukup hanya hati tulus dan mulia tapi perlu punggung yang kuat memikul beban yang berat dalam keluarga. Beban ekonomi, beban rutinitas sehari-hari, mendidik karakter dalam diri anak-anak, mendampingi suami dalam suka dan duka. Beban ini akan terasa ringan karena dijalani dengan cinta dan suka cita. Bagi orang mungkin dia mahluk lemah yang butuh dilindungi tapi bagiku mereka laksana mahluk terhebat dan terkuat di dunia. Apakah Moria harus mengeluh? Tidak harus karena keluhan hanya menambahkan beban baru tanpa mengurangi beban lama. Beban yang semestinya tidak moria pikul. Dukungan dari suami dan anak-anaknya adalah kekuatan yang diharapkan seorang moria. Moria tidak sendiri. Saat mereka berjalan, ada tangan suami dan anak-anaknya menopangnya. Disinilah kekuatan mereka bertambah-tambah.

Sejenak ku bermenung dan aku mulai sadar, Allah yang kukenal itu bagiku seumpama seorang ibu, nande tempat bagi anak-anakNya. Ia menjaga, merawat dan menuntun anak-anakNya dalam menjalani dan mengarungi kehidupan di dunia ini. Kasih Tuhan tak pernah berkesudahan, meskipun anak-anakNya tidak pernah mengerti akan hal itu tapi Tuhan selalu mengerti kita. Tuhan adalah tempat berteduh dan bersandar (ingan tertande), tempat mendapatkan kasih sayang dan kekuatan. Inilah Dia, sifat dan karakternya Allah ini ditanamkanNya dalam diri sosok perempuan yang hadir dalam peran sebagai seorang ibu/nande bagi anak-anaknya maupun istri bagi suaminya di tengah-tengah keluarganya. Karena itu, jika aku mau melihat kebaikannya Allah, cintanya Allah, caranya Allah merawat anak-anakNya maka aku cukup melihat bagaimana hadirnya seorang perempuan yang aku sebut ibu, dan seorang perempuan yang aku sebut istri dan ibu bagi anak-anakku. Memang tidak ada manusia yang sempurna, tidak terkecuali ibu dan istri. Tapi, dalam kelemahan dan ketidaksempurnaannya Tuhan sedang dan terus merancang sesuatu yang luar biasa. Moria itu banyak kekurangannya, ini jujur tapi cintanya selalu berlimpah. Moria mungkin miskin harta dan rupa tapi cinta akan keluarga yang menjadikannya mulia dan kaya dalam banyak hal. Cinta itulah yang menyempurnakan kekurangannya. Jangan mencari perempuan yang sempurna tapi ijinkan cintanya itu yang menyempurnakannya. Mulutnya bisa berbohong (katanya udah kenyang padahal perutnya kelaparan demi mereka yang dicintainya) tapi tidak kasih sayangnya. Dan itu kurasakan sebagai seorang Mamre mendampingi Moria dalam berjalan bersama. Dia selalu berkata, “berjalanlah kita beriring tapi jangan saling giring.”

Melihat sosok moria yang harus serba bisa memainkan peran, aku semakin terkesima dan takjub. Aku tidak tahu bagaimana tanggapan orang lain. Bagiku, Moria itu rupanya bisa berperan sebagai dokter disaat keluarga sedang sakit. Dia dokter tanpa ijazah tapi bukan malpraktek. Dia itu motivator kelas atas meskipun tidak pernah diundang dalam forum resmi. Dia itu penasehat yang ajaib karena tidak hanya dengan kata-kata saja tapi dengan perasaan. Kata-katanya mendalam dan membekas bahkan membentuk karakter anak-anaknya. Seperti kata Julius Caesar (Kaisar Romawi), “biarkan wanita bicara, kau akan belajar sesuatu darinya.” Dia itu guru tanpa mendapat gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd). Dia adalah sekolah pertama dan guru yang membekali anak-anak bagaimana sikap, watak, kepribadian, etika, iman dan pemahaman bahwa dunia ini berkerikil dan kerikilnya dapat sering membuat sianak terjatuh. Dan, sebagai guru, dia akan selalu mempersiapkan anak-anaknya menghadapi kerikil-kerikil itu agar ketajamannya tak membuat cidera hidup di dunia dan diakhirat. Dia itu, cempat curhat paling aman. Dia mau menjadi “tong sampah” supaya hati seisi keluarga bisa bersih. Susah memang, tapi harus dilakukan. Sulit memang tapi harus dijalani. Satu lagi, dia itu pendoa safaat rahasia. Setiap helaan nafasnya hanya satu yang bisa kudengar “namaku disebut.”

Sejenak merenung dalam sejarah Alkitab. Awal sejarah dunia dimulai dengan hadirnya seorang perempuan yang namanya Hawa. Dia memberikan warna dan rasa dalam kehidupan Adam dan ciptaan yang lain. Meskipun dalam keberlanjutan cerita saat hatinya condong mendengar bisikan Iblis dalam rupa seekor ular membawa dosa, kutuk dan kematian. Terasing dan terusir dari hadirat Tuhan. Tapi tidak kalah penting dan terpenting bagaimana sejarah dunia dimulai lagi dengan kehadiran seorang perempuan bernama Maria. Tuhan berkarya di dalam dan melalui perempuan itu. Dia mau menjadi ibu bagi Tuhan. Pencipta mau tinggal dipangkuan ciptaanNya. Maria melahirkan Juruselamat dunia, Yesus Kristus. Maria mendengar suara Tuhan dan menyerahkan hidupnya dipakai Tuhan. Dan, sesuatu luarbiasa terjadi bagi mereka yang mau dipakai oleh Tuhan. Jatuh bangunnya sejarah peradaban dunia ada sosok perempuan disana memainkan peran besar. Belajar dari dua peristiwa penting ini, Moria hendaklah tetap mendengarkan suara Tuhan dan menutup hati dan telinga iblis ambil kesempatan. Memang banyak hal yang membuat Moria lebih mendengar suara Iblis dalam beragam rupa (bukan hanya ular) baik dalam bentuk kejujuran dalam pekerjaan, jabatan, ekonomi, masalah, dsb. Tetaplah condongkan hati dan telinga mendengar suara/bisikan Tuhan. Dan, ini akan membawa perubahan yang baik diman Moria hadir dan berperan.

Mengakhiri refleksi pribadi ini, perkataan teman kita seorang penulis ternama bernama Tere Liye sedikit membantu, “Jika kita melihat seorang perempuan yang begitu tanggung, kuat dan mandiri maka jangan lihat dia sekarang berdiri tegak disana begitu mengagumkan. Tapi tanyakanlah, seberapa banyak hal, peristiwa menyakitkan yang telah ia lewati yang membuatnya menjadi semakin kuat.” Moria yang hebat dan kuat itu bukan hal yang instan tapi proses yang dia jalani membentuk karakter siapa dia. Jika boleh ditambah perkataan seorang motivator ternama Mario Teguh, katanya, “Perempuan bijak itu seperti angsa di atas air. Anggun namun tetap bekerja. Tetap tegar meski terluka.” Ketenangannya bukan karena ketikdakpeduliaannya tapi disanalah kebijaksanaannya mengalir. Selamat  HUT Moria GBKP, Moria GBKP Rg. Namorambe, dan Moria dalam keluargaku yang ke 63 tahun.  Amin.

 

Oleh: Pdt. Daud Sembiring

(GBKP Rg. Namorambe)

____Klasis Medan Namorambe______

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published.