Kambing Hitam II Kisah Kain Dan Habel II Sindhunata II Teori Rene Girard II Pdt. Daud Sembiring

Kambing Hitam II Kisah Kain Dan Habel II Sindhunata II Teori Rene Girard II Pdt. Daud Sembiring

Kambing Hitam

Dalam Kisah Kain dan Habel

(Menurut Teori Rene Girard)

______________________________________

Kain dan Habel adalah kakak beradik, anak dari manusia pertama, Adam dan Hawa. Habel, penggembala domba. Kain, petani. Kain mempersembahkan sebagian hasil tanahnya sebagai korban persembahan. Sementara Habel mempersembahken anak sulung kambing dombanya. Tuhan mengindahkan korban persembahan Habel, tetapi menolak persembahan Kain. Hati Kain menjadi panas. Lalu ia mengajak Habel ke ladang. Kain memukul adiknya. Ia telah membunuhnya.

Tuhan marah, dan mengutuk Kain. Tanah yang diolahnya takkan lagi memberi hasil sepenuhnya. Kain akan menjadi pengembara dan pelarian di bumi. Kain khawatir, barangsiapa yang akan bertemu dengannya, ia akan dibunuhnya. Tuhan berjanji, sekali-sekali hal itu tidak akan terjadi. Sabda Tuhan, “Barangsiapa yang akan membunuh Kain akan dibalaskannya tujuh kali lipat.”

Kemudian Tuhan menaruh tanda pada Kain, supaya ia jangan dibunuh oleh barangsiapapun yang bertemu dengan dia. Lalu Kain pergi dari hadapan Tuhan, dan ia menetap di tanah Nod, di sebelah timur Eden (Kej. 4:1-16).

Menurut Girad, kisah Kain adalah mitos klasik. Seorang saudara membunuh saudaranya. Pembunuhan itu lalu menjadi dasar bagi terbentuknya suatu komunitas, yakni komunitas kain. Orang bertanya, mengapa Tuhan justru mendengar seruan Kain, si pembunuh itu? Ya, mengapa Tuhan seakan membela si pembunuh itu dengan bersabda, “Barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskannya tujuh kali lipat” (Kej. 4:15a).

Jawab Girad, setelah pembunuhan pertama, harus segera dimaklumkan hukum melawan pembunuhan, supaya pembunuhan tiada berkelanjutan. Itulah kiranya alasan intervensi Tuhan dalam masalah Kain. Intervensi ini diperlukan untuk memperkuat komunitas, yang setelah pembunuhan itu terancam oleh balas dendam pembunuhan.

Jelas kelihatan  bahwa dalam peristiwa Kain terjadi suatu pembunuhan yang bisa dilihat dalam rangka founding murder. Jadi pembunuhan itu bersifat awali dan dasariah. Awali maksudnya sungguh suatu pembunuhan yang pertama. Dasariah, maksudnya suatu pembunuhan yang menjadi dasar bagi terbentuknya suatu sistem.

Pembunuhan macam ini juga sekaligus juga harus dilihat dalam rangka suatu differensiasi. Maksudnya, pembunuhan ini dibedakan dari pembunuhan jenis lain. Pembunuhan ini terjadi, serentak sebagai peristiwa yang berguna untuk mencegah rivalitas mimetis dan konflik yang lebih meluas secara umum. Jadi pembunuhan awali dan dasariah itu diikuti dengan terbentuknya system pendiferensiasian. Kitab suci melukiskan proses ini dalam kata-kata: “Tuhan menaruh tanda pada Kain, supaya ia jangan dibunuh oleh barangsiapapun yang bertemu dengan dia (Kej. 4:15b).

Sepintas kisah Kain dan Habel mirip dengan mitos klasik yang bercerita tentang pembunuhan seorang saudara atas saudara yang kemudian mengakibatkan terbentuknya suatu masyarakat. Misalnya kisah Romulus dan Remus. Romulus membunuh Remus, dan kota Roma pun terbentuk. Namun bila diamati dengan benar, kedua kisah mitos ini toh ada bedanya.

Habel dibunuh Kain, meski ia tak bersalah. Remus dibunuh Romulus karena ia dianggap melakukan pelanggaran. Remus tak menerima batas kota, yang telah ditetapkan oleh Romulus. Demi eksistensi kota, peraturan tak boleh dilanggar. Jadi dalam hal ini Romulus berada di pihak yang benar. Romulus jelas mempunyai status tinggi. Di samping imam yang membawakan korban, ia juga diberikan kekuasaan dibidang hukum dan sosial.

Kain tidaklah demikian. Dengan pembunuhan yang dilakukannya, memang tatanan masyarakat diadakan. Tapi lain dengan Romulus yang dibenarkan, Kain tetap dianggap salah. Ada penilaian moral yang tak bisa membenarkan perbuatan Kain. Dimensi etis ini tak kelihatan ada dalam mitos-mitos. Tapi jelas ada dalam mitos kitab suci. Seperti yang jelas ditunjukkan oleh Max Weber, tampaknya kitab suci memang cenderung berpihak pada korban, dan membela korban atas dasar penilaian moral. “Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah” (Kej 4:10). Kata-kata Tuhan yang membela Habel ini hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak contoh, yang memperlihatkan bahwa kitab suci sungguh memperlihatkan pembelaan korban yang tak bersalah.

Sayang Weber melihat kenyataan ini melulu dari segi sosiologis dan kultural. Ia dan banyak ahli lain tak mau peduli, betapa perspektif yang berpihak pada korban itu sesungguhnya mempunyai amat banyak arti dan implikasi. Pertama-tama, korban yang tak bersalah itu adalah eksistensi yang ada bukan hanya dalam mitos tapi juga di  balik segala bentuk ritus, aturan, dan larangan, bahkan di balik segala macam transendensi kereligiusan. Oleh pelbagai institusi itu, korban yang nyata itu ditutup-tutupi.

Kitab suci membuka “rahasia tersebut” dan belajar darinya kita akan tahu bahwa kultur di bangun atas dasar “pembunuhan asali” itu. Kultur akan terus terancam oleh “pembunuhan”, berbarengan dengan pudarnya daya korbani dan daya pemersatu, yang dulu dihasilkan oleh kekerasan awali.

 

Sumber: Sindhunata, Kambing Hitam

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published.