Hoax Di Media Sosial ll Pdt. Yunus Sembiring, S.Th
HOAX DI MEDIA SOSIAL
By. Pdt. Yunus Sembiring, S.Th
__________________________
Pada tahun 2016, fenomena hoax khususnya melalui media sosial begitu marak terjadi di tanah air dan dalam penyebarannya diyakini kebenarannya oleh banyak orang. Dampak beredarnya hoax ini terbentuklah opini publik yang mengarah kepada terjadinya kehebohan di masyarakat, ketidakpastian informasi, dan menciptakan ketakutan massa. Sasaran tembak dari hoax bukan hanya untuk pribadi tertentu tapi juga kepada institusi pemerintahan maupun swasta. Produsen berita hoax kebanyakan sama dengan situs yang mirip dengan situs yang resmi di kenal dimasyarakat, sehingga sulit membedakan mana yang benar dan palsu.
Hoax bukanlah singkatan tetapi satu kata dalam bahasa Inggris yang punya arti sendiri. Dalam Oxford English Dictionary, hoax didefenisikan sebagai “malicious deception” atau “kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat”. Kemudian dalam The Contemporary English-Indonesian Dictionary, mengartikan hoax sebagai “senda gurau, olok-olok, bersendagurau, berolok-olok”. Dan, Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak menggunakan kata hoax, tetapi dia menggunakan beberapa istilah yang dekat dengan pengertian hoax di atas yaitu: berita rekaan yang dibuat untuk tujuan tertentu; atau sensasi yang terlalu dibesarkan, untuk menarik perhatian masyarakat.3
Berdasarkan informasi dan pandangan para ahli, maka kami menyimpulkan tentang hoax kedalam tiga pengertian berikut, Pertama, hoax adalah berita bohong, artinya berita yang disampaikan tidak benar; tidak berdasarkan fakta dan kenyataan yang sebenarnya; berita tanpa data. Kedua, hoax adalah berita yang sengaja dibuat untuk kepentingan tertentu, baik pada tataran kepentingan individu maupun kepentingan kelompok yang lebih besar. Kepentingan- kepentingan yang sangat kuat menggunakan hoax sebagai sarana memengaruhi adalah politik dan ideologi tertentu. Ketiga, hoax adalah berita yang sengaja dibuat untuk memperdaya. Memperdaya dimaksudkan bahwa hoax sengaja mengeksploitasi persepsi khalayak untuk mempercayai sesuatu yang bersifat menipu, berbohong, sebagai sesuatu yang “seolah-olah” benar. Kalau orang memercayai berita hoax maka hoax itu sendiri telah berhasil memperdaya khayalak, karena mereka terperangkap dalam pengertian yang salah atas sebuah fakta yang seharusnya benar. Maka pada dasarnya hoax adalah suatu kejadian yang dibuat-buat, karangan belaka, akhirnya digembor-gemborkan, seolah-olah informasi itu benar, padahal tidak benar.
Menurut Sahrul Mauludi dalam bukunya Seri Cerdas Hukum : Awas Hoax, ia membagi empat macam hoax yang sering beredar di masyarakat melalui media internet. Pertama, mitos atau cerita berlatar masa lampau yang boleh jadi salah, tetapi dianggap benar karena diceritakan secara turun-temurun. Kedua, glorifikasi dan demonisasi. Glorifikasi adalah melebih-lebihkan sesuatu agar tampak hebat, mulia dan sempurna. Sebaliknya, demonisasi adalah mempersepsikan sesuatu seburuk mungkin seolah-olah tidak ada kebaikannya sedikit pun. Ketiga, kabar bohong atau informasi yang diada-adakan atau sama sekali tidak mengandung kebenaran. Keempat, info sesat, yaitu informasi yang faktanya dicampuradukkan, dipelintir, dan dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi seolah-olah benar. Di dunia komunikasi, ada istilah spin doctor untuk menyebut ahli pemelintir komunikasi.
Pelaku hoax dapat dikategorikan dua jenis, yaitu pelaku aktif dan pasif. Pelaku aktif melakukan atau menyebarkan berita palsu secara aktif membuat berita palsu dan sengaja menyebarkan informasi yang salah mengenai suatu hal kepada publik. Sedangkan pelaku pasif adalah individu atau kelompok yang secara tidak sengaja menyebarkan berita palsu tanpa memahami isi atau terlibat dalam pembuatannya. Jadi dapat dikatakan bahwa setiap orang berpotensi sebagai pembuat hoax.
Membedah Realitias Teknologi Informasi
Dari Revolusi Gutenberg ke Era Cyberspace
Tahun 1455 Gutenberg telah memproduksi 42-line bible, buku bible pertama yang dicetak, dan sejak itu ratusan buku lain sudah tersebar ke seluruh Eropa. Sampai awal abad ke-16 teknologi cetak telah mulai digunakan untuk menyebarkan informasi, menciptakan media dengan jangkuan aksesibilitas yang lebih luas. Seperti buku yang mulai bisa menjangkau sejumlah sangat besar orang, komunikasi massa dalam arti komunikasi yang berlangsung dengan melibatkan orang dalam jumlah cukup besar bukan lagi berupa impian melainkan mulai menjadi sebuah kenyataan. Penyebarluasan informasi telah memicu perkembangan sosial dalam masyarakat. Inovasi-novasi teknologi mendorong perkembangan dan pertumbuhan pelbagai media cetak sampai bentuknya yang paling mutakhir sekarang. Bentuk -bentuk diskursus publik mulai muncul melalui surat kabar dan buku-buku. Sejarah pertumbuhan media massa kembali mencatat sebuah momentum penting ketika komputer personal mulai dikembangkan dengan pembuatan mesin Altair 8000 tahun 1974. Pertumbuhan komputer personal kemudian mengantarkan kita pada apa yang oleh Al Gore disebut zaman information superhighway ketika internet makin berhasil mewujudkan impinan-impian orang untuk bisa mengatasi pelbagai hambatan tradisional dalam komunikasi dan pertukaran informasi. Internet bukan hanya medium untuk berbagai informasi dan berkomunikasi dalam cara-cara inkonvensional, melainkan juga titik temu antara pelbagai jenis media
tradisional. Selain telah membawa kita pada satu metode baru pengiriman informasi dalam format yang secara radikal jauh lebih lengkap, terbentuknya datasphere melalui jaringan jutaan komputer sedunia juga telah merangsang munculnya berbagai peluang yang tidak dikenal sebelumnya. Sekarang kita bisa melakukan bukan hanya pengirimanan surat elektronik (e-mail) atau menjelajahi lautan data digital dalam World Wide Web, melainkan bahkan transaksi ekonomi (e-commerce), pemesanan tiket pesawat, konsultasi kesehatan, memonitor anak di rumah dari kantor, melakukan konferensi jarak jauh dan sebagainya.
Internet menyediakan ruang dan waktu untuk memilih alternatif cara hidup yang berbeda, termasuk alternatif untuk menghancurkan hidup. Di dalamnya orang bisa merasa begitu bebas untuk bereksperimen, mengeksplorasi hal-hal yang sama sekali baru, atau bahkan untuk bergulat dalam permainan identitas (to engage in indentity). Dalam kalimat lain, internet menyediakan banyak peluang untuk membentuk komunitas-komunitas baru. Kemungkinan komunikasi melalui teknologi komputer personal telah menandai pergeseran dari bentuk media searah menuju multimedia interaktif. Teknol ogi- teknologi baru telah memperkenalkan hyperrealitas, simulasi, dan virtual reality yang tidak bisa lagi
dilihat sebagai cermin dari realitas sosial melainkan sebagai „others‟. Jaringan antar komputer sedunia mulai menggantikan jaring-jaring kerja sama tradisional antara manusia dalam lingkungan yang lebih kecil. Hanya dengan komputer pribadi dari sebuah kamar tidur yang terkoneksi ke dalam jaringan internet, saat ini komunitas yang dibayangkan oleh setiap individu bergerak ke tingkat yang semakin luas dan rumit, sambil pada saat yang sama kemudian mulai terbentuk komunitas-komunitas virtual yang baru dalam datasphere dengan alasan-alasan kepentingan yang berbeda. Fasilitas surat elektronik (e-mail) dan homepage pribadi atau perusahaan dalam Worl Wide Web lambat laun mulai menjadi substitusi penting bagi alamat-alamat di dunia aktual. Sekarang setiap orang secara teoritis bisa berhubungan dengan orang lain tanpa harus tahu tempat tinggalnya secara fisik, melainkan cukup melalui alamat -alamat digitalnya dalam cyberspace. Paradox yang kemudian muncul adalah kenyataan bahwa sambil mempromosikan globalisme, teknologi komunikasi dan informasi mutakhir juga mendorong pembentukan sebuah dunia yang terfragmentasi menjadi satuan-satuan kelompok yang lebih kecil.
Masyarakat Cyber, Masyarakat Informasi
Perkembangan teknologi, terlebih berbasis komunikasi dan informasi, turut serta memengaruhi kebudayaan manusia sebagai pengguna teknologi. Marshal McLuhan memberikan argumentasinya melalaui konsep determinism technology. McLuhan menyakini alur perubahan teknologi turut serta mempengaruhi peradaban penggunanya. Artinya, manusia di setiap era berperilaku adaptif dengan teknologi yang digunakan. Maka dari itu, McLuhan merefleksikan bahwa teknologi turut andil besar dalam membentuk koloni manusia baru, atau disebutnya sebagai the Monoculture, yaitu manusia dalam satu planet bumi ini bertindak, berbudaya, berpengetahuan, dan berkonsumsi serupa. Menurutnya, apa yang tersaji di dapur orang Indonesia, dapat dijumpai di dapur-dapur keluarga Anerika, Jepang, dll
Menurut McLuhan, globalisasi merupakan menyempitnya bias ruang dan waktu sehingga dunia menjadi seperti desa (the Global Village). Secara sederhana, globalisasi dapat didefenisikan sebagai adanya sebuah dunia tanpa adanya sekat-sekat pembatas, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Teknologi yang berkembang membuat orang-orang seolah-olah hidup di dunia tanpa batas. Batas kedaulatan dan teritori terabaikan karena orang-orang dapat saling terhubung kapan pun dan di mana pun yang mereka inginkan.
Perkembangan teknologi informasi tidak saja mampu menciptakan masyarakat dunia global, namun secara materi mampu mengembangkan ruang gerak kehidupan baru bagi masyarakat, sehingga tanpa disadari, komunitas manusia telah hidup dalam dua dunia kehidupan, yaitu kehidupan masyarakat nyata dan kehidupan masyarakat maya (cybercommunity). Masyarakat maya adalah revolusi terhadap perubahan masyarakat nyata. Bahwa manusia tidak pernah puas hidup dalam dunia yang terbatas dan dalam ruang yang sempit. Teknologi secara fungsional telah menguasai masyarakat. Dalam dunia media informasi, sistem teknologi juga telah menguasai jalan pikiran masyarakat, seperti yang diis tilahkan dengan theater of mind. Bahwa siaran-siaran media informasi secara tidak sengaja telah meninggalkan kesan siaran di dalam pikiran pemirsanya. Sehingga suatu saat, media informasi itu dimatikan, kesan itu selalu hidup dalam pikiran pemirsa dan membentuk panggung-panggung realitas di dalam pikiran mereka.
Marshall McLuhan dalam bukunya Understanding Media, telah berbicara banyak tentang sebuah masa depan yang dibentuk oleh teknologi elektronik. Tesisnya yang paling mudah dikenal adalah tentang sebuah dunia yang makin mengecil akibat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, yakni apa yang ia sebut sebagai „kampung global‟ (global village). Dalam pandangan McLuhan teknologi media telah berhasil mentransformasikan masyarakat-masyarakat manusia di dunia menjadi sebuah satuan komunitas global tanpa dinding-dinding pembatas lama seperti ideologi politik, agama, dan nasionalitas. Kalau dulu orang-orang primitif mengumpulkan makanan untuk bisa bertahan hidup di tengah kegananasan alam, sekarang orang modern berlomba mengumpulkan informasi untuk tetap bisa bertahan dalam lingkungan – lingkungan hidup baru yang basis sosial masyarakatnya telah bergeser dari produksi barang atau jasa menjadi produksi informasi. Di mana saat ini, kalau kita menulis gagasan tertentu dan mempublikasikannya melalui e-mail atau dalam homepage pribadi di internet, dalam hitungan detik ia akan sudah menyebar ke seluruh dunia. Menit-menit berikutnya kita mungkin sudah mendapatkan sekian banyak respons dari sembarang orang di mana-mana.
Media Massa, Media Sosial
Berkat perkembangan teknologi komunikasi khususnya di bidang komunikasi massa elektronik yang begitu cepat, media massa elektronik makin banyak bentuknya, dan makin mengaburkan batas-batas untuk membedakan antara media komunikasi massa dan komunikasi antarpribadi. Hal ini disebabkan karena makin canggihnya media komunikasi itu sendiri yang bisa dikomunikasikan (multimedia) antara satu sama lainnya. Di internet, orang bisa merengkuh gabungan seluruh isi media tradisional berupa teks, gambar gerak, citra audiovisual, dan realitas virtual (virtual reality). Di samping itu ia juga membedakan diri dari jenis media lain yang searah melalui apa yang disebut interaktivitas. Media tradisional yang sifatnya satu arah dari produsen kepada audience, telah mengalami transformasi menjadi multimedia interaktif yang di dalamnya terlibat pelbagai proses produksi, reproduksi, dan penyebaran informasi secara bolak balik antara audience dan produsen. Di era multimedia interaktif yang dimungkinkan oleh perkembangan komputer personal, setiap orang pada dasarnya berpeluang menjadi produsen sekaligus konsumen informasi pada saat yang bersamaan.
Adapun yang dimaksud dengan media dalam komunikasi massa adalah media massa yang merupakan segala bentuk media atau sarana komunikasi untuk menyalurkan dan mempublikasikan berita kepada publik atau masyarakat. Media massa dalam konteks jurnalistik pada dasarnya terbagi atas tiga jenis media, yaitu: 1) Media cetak, berupa surat kabar, tabloid, majalah, buletin, dan sebagainya. 2) Media elektronik, yang terdiri atas radio dan televisi. 3) Media online, yaitu media internet seperti website, blog, portal berita, dan media sosial. Dari ketiga jenis media ini, dapat diketahui bahwa media massa modern tidak hanya bercirikan penggunaan perkembangan teknologi baik itu teknologi percetakan, elektronik maupun online, tetapi juga dari karakteristik pengguna medianya. Jika secara tradisional jurnalisme merupakan tugas-tugas yang diemban oleh profesi wartawan dan insan pers lainnya, maka dalam konteks saat ini, konsumen berita atau khalayak banyak juga dapat berperan dalam jurnal isme sebagai penyebar berita melalui media sosial. Hal ini karena media sosial merupakan bagian dari media massa, sosial media ini termasuk dalam media massa modern.
Walaupun demikian terdapat beberapa karakteristik yang membedakan media massa dari media sosial, seperti karakter aktualitas, objektivitas dan periodik. Media massa juga pada umumnya hanya melakukan komunikasi satu arah, dan para penerima informasinya tidak dapat berkontribusi secara langsung. Karakeristik lainnya bahwa komunikatornya pun lazimnya bersifat melembaga. Sifat kelembagaan komunikator dalam proses komunikasi massa disebabkan oleh melembaganya media yang digunakan dalam menyampaikan pesan komunikasinya. Mereka berbicara atas nama lembaga tempat dimana mereka berkomunikasi sehingga pada tingkat tertentu, kelembagaan tersebut dapat berfungsi
sebagai fasilitas sosial yang dapat ikut mendorong komunikator dalam menyampaikan pesan-pesannya.
Sedangkan media sosial, baik pemberi informasi maupun penerimanya memiliki media send iri. Media sosial merupakan situs di mana setiap orang bisa membuat web page pribadi, kemudian terhubung dengan kolega atau publik untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Media sosial memfasilitasi adanya komunikasi dua arah antara pemberi pesan dan penerima pesan dalam waktu yang cepat dan tak terbatas. Beberapa contoh media sosial diantaranya facebook, blog, twitter, dsb. Perbedaan mendasar lainnya adalah ada sifat objektivitas pesan yang disampaikan dalam media masing-masing. Media massa cenderung memuat pesan dengan tingkat objektivitas yang lebih tinggi, walaupun dalam beberapa kasus dimensi subjektifnya juga kuat. Dalam media sosial setiap penggunanya memiliki hak dan kebebasan untuk menyuarakan apapun, sekalipun pesan yang disampaikannya merupakan kritik, keluhan, opini dan bentuk pesan lainnya yang bersifat sangat subjektif. Komunikasi massa pada dasarnya melibatkan kedua jenis media ini, media massa dan media sosial. Media massa sebagai media mainstream memiliki pengaruh cukup kuat dalam membentuk opini dan perspektif penggunanya dalam satu isu yang diangkatnya. Namun demikian peran ini juga mulai dilakukan oleh pengguna media sosial. Keterlibatan masyarakat dalam penggunaan media sosial sebagai bentuk jurnalisme (citizen journalism), merupakan bentuk kontribusi masyarakat biasa dalam berbagi informasi kepada publik. Kontribusi jurnalisme warga ini dapat dilakukan tanpa membutuhkan keahlian khusus di bidang jurnalistik seperti yang dimiliki oleh profesi jurnalis. Fungsi terbesar media sosial dalam konteks komunikasi massa ini adalah membuat keterlibatan masyarakat ikut serta menjadi social control.
Media Sosial Sebagai Media Baru (New Media)
Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi web 2.0 (web sosial), dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content. Media sosial kemudian memerankan peranan penting dalam perkembangan komunikasi di ranah daring. Media sosial adalah medium di internet yang memungkinkan pengguna merepresentasikan dirinya maupun berinteraksi, bekerjasama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lain, dan membentuk ikatan sosial secara virtual. Dalam masyarakat jejaring atau networking society, informasi menjadi konten yang dipertukarkan antara pengguna media cyber yang tidak berada dalam pemilihan antar sender dan receiver. Entitas memiliki peran ganda sebagai konsumen informasi sekaligus produsen informasi. Bahkan dalam kanal komunikasi yang semakin beragam dan model komunikasi yang juga semakin dipengaruhi oleh teknologi media baru (new media) ini, pengguna media cyber bahkan telah menyelam menjadi creative audience.
Media sosial memiliki karakteristik khusus yang tidak terpusat atau desentralisasi, komun ikasi secara dua arah, di luar control pemerintah, demokratis, menimbulkan individu dan juga orientasi kesadaran individu. Media sosial sebagai media dengan dinamika sosial yang sangat tinggi dan memungkinkan komunikasi terbuka kepada berbagai pihak dengan beragam latar belakang dan kepentingan adalah sarana yang tepat untuk membangkitkan partisipasi warga dalam membangun. Dimana media sosial adalah media berbasis internet yang memungkinkan pengguna berkesempatan untuk berinteraksi dan mempresentasikan diri, baik secara seketika ataupun tertunda, dengan khalayak luas maupun tidak yang mendorong nilai dari user-generated content dan persepsi interaksi dengan orang lain. Media sosial digunakan secara produktif oleh seluruh ranah masyarakat, bisnis, politik, media, periklanan, polisi, dan layanan gawat darurat. Media sosial telah menjadi kunci untuk memprovokasi pemikiran, dialog, dan tindakan seputar isu-isu sosial.
Jenis Media Sosial
Kaplan dan Haenlein membagi berbagai jenis media sosial ke dalam 6 (enam) jenis, yaitu
– Collaborative Projects, yaitu suatu media sosial yang dapat membuat konten dan dalam pembuatannya dapat diakses khalayak secara global. Kategori yang termasuk dalam Collaborative Projects dalam media sosial, yaitu WIKI atau Wikipedia yang sekarang sangat populer di berbagai negara. Collaborative Projects ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung citra perusahaan, terlepas dari pro-kontra soal kebenaran isi materi dalam situs tersebut.
– Blogs and Microblogs, yaitu aplikasi yang dapat membantu penggunanya untuk menulis secara
runut dan rinci mengenai berita, opini, pengalaman, ataupun kegiatan sehari-hari, baik dalam bentuk teks, gambar, video, ataupun gabungan dari ketiganya. Kedua aplikasi ini mempunyai peran yang sangat penting baik dalam penyampaian informasi maupun pemasaran produk. Melalui kedua aplikasi tersebut, pihak pengguna dengan leluasa dapat mengiring opini masyarakat atau pengguna internet untuk lebih dekat dengan mereka tanpa ha rus bersusah-susah menyampaikan informasi secara tatap muka.
– Content Communities, yaitu sebuah aplikasi yang bertujuan untuk saling berbagi dengan seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung, di mana dalam aplikasi ini user atau penggunanya dapat berbagi video, ataupun foto. Sosial media ini dapat dimanfaatkan untuk mempublikasikan suatu bentuk kegiatan positif yang dilakukan oleh satu perusahaan, sehingga kegiatan tersebut akan mendapatkan perhatian khalayak dan pada akhirnya akan membangun citra positif bagi perusahaan.
– Social Networking Sites atau Situs Jejaring Sosial, yaitu merupakan situs yang dapat membantu seseorang atau pengguna internet membuat sebuah profil dan menghubungkannya dengan pengguna lain. Situs jejaring sosial memungkinkan penggunanya mengunggah hal-hal yang sifatnya pribadi seperti foto, video, koleksi tulisan, dan saling berhubungan secara pribadi dengan pengguna lainnya melalui private pesan yang hanya bisa diakses dan diatur pemilik akun tersebut. Situs jejaring sosial sangat berperan dalam hal membangun dan membentuk brand image, karena sifatnya yang interaktif sehingga pengguna dapat dengan mudah mengirim dan menerima informasi, bahkan dapat digunakan sebagai media komunikasi dan klarifikasi yang nyaman antara pemilik produk dengan konsumennya.
– Virtual Game Worlds, yaitu permainan multiplayer di mana ratusan pemain secara simultan dapat di dukung. Media sosial ini sangat mendukung dalam hal menarik perhatian konsumen untuk tahu lebih banyak dengan desain grafis yang mencolok dan permainan warna yang menarik, sehingga terasa lebih informatif dan interaktif.
– Virtual Social Worlds, yaitu aplikasi yang mensimulasi kehidupan nyata dalam internet. Aplikasi ini menungkinkan pengguna berinteraksi dalam platform tiga dimensi menggunakan avatar yang mirip dengan kehidupan nyata. Aplikasi ini sangat membantu dalam menerapkan suatu strategi
pemasaran atau penyampaian informasi secara interaktif serta menarik.
HOAX DI MEDIA SOSIAL
Penyebaran Hoax
Kemajuan teknologi informasi mendorong perubahan kultur dan kebiasaan masyarakat, termasuk salah satunya adalah menyebarkan berita atau informasi. Sosiolog UGM Derajad S Widhyharto mengungkap alasan sebagian orang ‘suka’ menyebarkan berita bohong karena terutama budaya komunikasi kita selama ini terbiasa formal normatif, di mana identitas sangat dibutuhkan. Ketika muncul online, tanpa harus memberikan identitas orang dapat mengungkapkan apa yang mereka inginkan. Hal inilah yang menyebabkan ketika ada isu yang belum tentu benar dan kebetulan sesuai dengan opininya, seseorang kemudian menyebarkannya begitu saja.
Dalam banyak kasus, internet menjadi salah satu instrument untuk penyebaran gagasan -gagasan primordial berdasarkan etnis dan agama. Beberapa gerakan paganism atau sectarian ada yang menjadikan internet sebagai alat komunikasi di antara sesama anggotanya. Mereka membuat homepage atau menggunakan e-mail untuk berkomunikasi satu sama lain. Karena internet adalah pasar bebas informasi, ia juga berisi informasi yang justru menolak desakan kearah globalisasi yang dipromosikan melalui dan didukung sepenuhnya oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi massa. Di era information superhighway, aplikasi World Wide Web kini sedang berubah menjadi sebuah pasar, dan dalam proses ini ia telah mentransformasikan privasi yang semula merupakan hak individu menjadi komoditas yang sepenuhnya komersial dan bisa dibeli oleh siapa pun.
Dengan dinamika informasi yang berlangsung cepat sekali dan mudah dipertukarkan melalui gawai, menurut Niken setiap orang mudah berbagi informasi. “Istilahnya Ten To Ninety yang artinya 10 orang membuat konten negatif, kemudian 90 persen menyebarkannya dengan sukarela,” kata Niken. Mengenai hoax, Niken menyatakan, salah satu tujuan orang membuat hoax di media sosial itu adanya perang ideologi. Penyebaran hoax di media sosial Indonesia, mulai marak sejak media sosial populer digunakan oleh masyarakat Indonesia. Ini disebabkan sifat dari media sosial yang memungkinkan akun anonim untuk berkontribusi, juga setiap orang, tidak peduli latar belakangnya, punya kesempatan yang sama untuk menulis. Beberapa orang yang tidak bertanggungjawab, menggunakan celah ini untuk menggunakan media sosial dalam konteks negatif, yaitu menyebarkan fitnah, hasut dan hoax.
Dari sudut pandang sosiologis keberadaan media sosial terutama kemunculannya telah mempengaruhi tata cara manusia berkomunikasi, bersosialisasi, berteman, dan berinteraksi. Berdasarkan konsep sosiologi yang memandang masyarakat sebagai kelompok manusia yang menghasilkan kebudayaan yang berkaitan dengan perkembangan peradaban masyarakat, dalam konteks merebaknya persebaran hoax, masyarakat dapat mengalami kemunduran moral yang dapat membahayakan peradaban khususnya bagi masa depan generasi muda. Permasalahannya yang menjadi tantangan adalah seiring dengan derasnya arus informasi media, masyarakat pun dibuat kebingungan dan tidak mampu memilah, menyeleksi, serta memanfaatkan informasi yang sudah mereka peroleh. Perubahan pola komunikasi yang terjadi dalam masyarakat saat ini di ruang siber memang memberikan dampak pada perilaku kehidupan masyarakat moderen. Kehadiran media siber merupakan bentuk cara baru dalam berkomunikasi. Bila selama ini pola komunikasi yang telah mapan terdiri dari pola „one to many audiences‟ atau dari satu sumber ke banyak pemirsa (seperti buku, radio, dan televisi), dan pola „one to one audience‟ dari satu sumber ke satu pemirsa atau (seperti telepon dan surat), maka pola komunikasi masyarakat siber menggunakan kombinasi pola „many to many‟ dan pola „few to few‟.
Kemampuan media sosial dalam menfasilitasi interaksi masyarakat dalam menanggapi sebuah berita yang tidak didasari oleh fakta akan menyebabkan terbentuknya opini publik yang merugikan semua pihak. Opini publik yang telah beredar di masyarakat akan menjadi lebih “liar” ketika terjadi polemik opini yang didasari oleh masing-masing sudut pandang masyarakat. Polemik ini akan berpotensi meluas dan mampu menggerakkan masyarakat untuk membuktikan pandangannya, walaupun hal itu berisiko pada terjadinya konflik dalam masyarakat. Memang, banyak masyarakat yang memang secara arif bisa menyampaikan aspirasi mereka melalu media sosial. Namun, tidak sedikit juga yang malah kebablasan dalam menyampaikan aspirasinya tanpa memperhatikan etika dan norma dalam berpendapat. Sekali lagi dengan mengatasnamakan kebebasan, membuat pengguna media sosial (netizen) sering lupa diri sehingga tidak mengindahkan perkara etika dan moral dalam berkomunikasi melalui media sosial. Persoalan lainnya yang menyebabkan informasi palsu atau hoax menjadi semakin sulit dikendalikan adalah, adanya kebiasaan sebagian besar masyarakat yang ingin cepat berbagi informasi. Masyarakat Indonesia memang memiliki karakteristik “suka bercerita‟ sehingga sifat ini juga terbawa dalam cara mereka berkomunikasi dengan menggunakan media sosial. Sering terjadi bahwa para pengguna media sosial ini membagikan sebuah informasi yang mereka dapatkan tanpa melakukan pengecekan terhadap kebenarannya. Mereka kadang bahkan tidak tau dari mana sumber berita atau siapa orang yang pertama-tama yang membuat berita tersebut. Banyak yang langsung percaya dan secara tergesa-gesa membagikan berita atau informasi tersebut kepada pengguna lainnya. Pengguna lain yang mendapat informasi ini juga acapkali juga memiliki kecenderungan yang sama dengan pengguna sebelumnya, tanpa menelisik lebih jauh tentang informasi dan berita yang ia terima, langsung membagikan kembali informasi yang didapatnya itu. Demikian terus berlanjut sehingga berita yang sebenarnya belum sempat divalidasi kebenarannya itu malah telah menjadi viral dan dipercaya oleh masyarakat.
Hoax sebagai sebuah Kejahatan
Keberadaan hoax sebenarnya ada di mana-mana, namun media sosial memiliki pengaruh dalam membuat dan penyebaran informasi-informasi bohong. Sejalan dengan penelitian Astrini sebagaimana dikutip oleh Janner mengungkapkan bahwa isu-isu SARA merupakan hal yang paling sering diangkat untuk materi konten. Isu-isu tersebut dimanfaatkan penyebaran hoax untuk mempengaruhi opini publik. Sebagai contoh kasus, tepatnya pada kontestasi politik pemilihan Pilkada DKI 2017. Pada saat itu video Ahok bertemu dengan warga kepulauan seribu mendadak viral karena Ahok dianggap telah melakukan penistaan agama. Video tersebut pun menyebar di sosial media dan memunculkan reaksi publik dalam skala luas. Hoax di media sosial biasanya pemberitaan media yang tidak terverifikasi, tidak berimbang, dan cenderung menyudutkan pihak tertentu; dan bermuatan fanatisme atas nama ideologi, judul, dan pengantarnya provokatif, memberikan penghukuman serta menyembunyikan fakta dan data. Dampak hoax sama besarnya dengan cyber crime secara umum dan hate speech terhadap publik yang menerimanya. Oleh karenanya kejahatan ini juga merupakan sesuatu yang perlu diwaspadai oleh seluruh elemen bangsa.
ETIKA BERKOMUNIKASI DI MEDIA SOSIAL
Standard Etika Komunikasi Secara Aksiologi
Etika komunikasi memberikan rambu-rambu dan petunjuk yang positif kepada seseorang dalam melakukan komunikasi baik secara individu maupun komunikasi massa dan ke publik. Mungkin pertanyaan ulang akan terjadi, mengapa masyarakat harus belajar dan memahami perihal komunikasi terutama etika komunikasi. Jawabannya jelas, karena yang pertama, media sosial mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat pengaruhnya terhadap publik; kedua, dengan mengetahui ilmu komunikasi maka akan terjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab; ketiga, untuk menghindari sedapat mungkin dampak negatif dari logika instrumental, di mana logika ini cenderung mengabaikan nilai dan makna. Dan aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang nilai, yang ingin merefleksikan car a bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan diperoleh. Lanigan berpendapat bahwa aksiologi adalah studi etika dan estetika. Dapat dikatakan bahwa aksiologi adalah kajian tentang nilai manusiawi dan bagaimana cara mengekspresikannya. Dalam hubungannya dengan filsafat komunikasi, Lanigan mengatakan bahwa aksiologi, kategori ke empat dari filsafat, merupakan studi etika dan estetika. Ini berarti, aksiologi adalah suatu kajian terhadap apa itu nilai-nilai manusiawi dan bagaimana cara melembagakannya. Jelaslah bahwa penting bagi seorang komunikator ketika ia mengemas pemikirannya sebagai isi pesan dengan bahasa sebagai lambang, untuk terlebih dahulu melakukan pertimbangan nilai (value judgment) apakah pesan yang ia komunikasikan etis atau tidak, estetis atau tidak. Secara aksiologis etika dalam berkomunikasi diharapkan akan dapat mencari standar etika yang digunakan dalam berkomunikasi melalui media sosial. Etika komunikasi akan mencoba mencari standar etika apa yang harus digunakan oleh komunikator dan komunikan dalam menilai diantara teknik,isi dan tujuan komunikasi.
Berkomunikasi itu wajib menggunakan etika komunikasi dengan baik dan benar. Begitu pun dalam hal menyebarkan informasi, harus sesuai dengan fakta, tidak dilebih-lebihkan, tidak dikurang- kurangkan dan tidak diputarbalikkan dari fakta sebenarnya. Istilah fairness dalam ilmu komunikasi, khusunya yang menyangkut komunikasi massa meliputi beberapa aspek etis. Misalnya menerpakan etika kejujuran atau objektivitas berdasarkan fakta, berlaku adil atau tidak memihak dengan menulis berita secara seimbang serta menerapkan etika kewajaran. Panduan dalam bersikap dan berperilaku di lingkungan internet sesuai kaidah normatif sudah ada yang disebut dengan netiquette, yang berarti ; 1) Etika dalam menggunakan internet, atau 2) Aturan-aturan/ kebiasaan/ etika/ etiket umum yang berlaku di seluruh dunia, sehingga para pelaku internet dapat dengan nyaman dalam berinteraksi di dunia maya. Selain itu teradapat juga kode etik blogger, yang meniru kode etik masyarakat jurnalis professional. Kode etik tersebut berisi bahwa blogger yang bertanggungjawab harus menyadari bahwa mereka menyiarkan tulisan mereka kepada publik sehingga memiliki kewajiban-kewajiban tertentu pada para pembacanya dan masyarakat secara umum, integritas adalah adalah fondasi dari kredibilitas. Secara terperinci kode etik blogger yang disepakati yaitu harus jujur dan adil dalam mengumpulkan, melaporkan, dan menafsirkan informasi.
Perkembangan terkini menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan. Tanpa mengesampingkan dampak demokratisnya, media sosial berkembang sebagai forum diskusi yang sedemikian rupa mengesampingkan etika publik atau etika komunikasi. Media sosial berkembang bukan hanya sebagai sarana artikulasi kebebasan, melainkan juga sarana untuk menuangkan sikap acuh tak acuh, prasangka buruk, kebencian dan sumpah serapah terhadap orang lain. Media sosial menjadi demikian indentik dengan berita bohong. Sementara antisipasi dan pengendalian atas penerapan etika komunikasi di meda sosial masih sulit dilakukan dan terbentur berbagai masalah : anonimitas, ambiguitas posisi sebagai ruang public atau ruang privat, ambivalensi antara komunikasi massa dan komunikasi antar pribadi, dan sifat media berbasis internet yang transnasional dan lintas batas. Fun gsi media sebagai ruang komunikasi belum mengalami pelembagaan secara tuntas.
Hoax sebenarnya melanggar etika komunikasi dan secara spesifik dalam dunia jurnalistik melanggar etika jurnalistik. Alasannya adalah informasi yang disebarluaskan sering tidak berdasarkan fakta atau mendistorsi fakta. Dalam dunia jurnalisme, sebuah berita harus menyampaikan informasi yang dapat diverifikasi dan dibuktikan secara empiris, bukan hanya sekedar informasi yang berdasarkan pada asumsi pribadi yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Dalam media sosial, semua orang bisa menjadi wartawan, editor, dan bisa menyebarluaskan (share). Untuk itu hoax sebagai suatu diskursus publik bisa menjadi alat untuk memanipulasi pikiran (cognitive manipulation) publik untuk mempercayai sesuatu yang salah sebagai suatu kebenaran. Inti dari penyebarluasan hoax dapat memanipulasi dan mengontrol pikiran pembaca yang selanjutnya dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya. Efek dari manipulasi kognitif ini adalah pikiran publik diajak untuk mengaitkan satu isu dengan isu lain atau bisa dikenal dengan rantai wacana dalam kajian analisis wacana kritis.
Mempertimbangkan Pluralitas Sosial sebagai Keharusan
Kehadiran media sosial yang sulit dikendalikan mau tidak mau harus diperhadapkan dengan seluruh konteks sosial masyarakat kita. Kenyataan sosial sebagai konteks masyarakat kita tidak lain adalah pluralitas (suku, agama, ras, dan antargolongan/SARA). Sederhananya, bahwa situasi masyarakat dengan kompleksitas keragaman, seperti Indonesia, pola pemberitaan media, apapun, entah itu media mainstream atau media sosial, harus selalu berpegang pada prinsip etis ketika mengumpulkan, menentukan sumber berita, sampai kepada menyiarkan berita tersebut kepada masyarakat. Kalau kita sepakat dengan prinsip norma moral dipakai sebagai pegangan hidup atau sebagai standar penilaian atas suatu tindakan disebut sebagai baik-buruk, benar-salah, atau etika dimengerti sebagai sarana orientasi bagi manusia untuk menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya hidup dan bertindak, maka media, yang dikendalikan sepenuhnya sebagai tindakan manusiawi, mau tidak mau harus menempatkan dirinya dalam prinsip etika sebagai keharusan moral. Bertolak dari hasil survei yang dilakukan Masyarakat Telekomunikasi Indonesia, kita tahu bahwa media sosial, seperti: facebook, twitter, instagram, dan path adalah media terbanyak menyebarkan berita hoax. Sebanyak 92.40% hoax di Indonesia disebarkan melalui media sosial- media sosial ini.
Komunikasi internet bukanlah lingkungan etis yang netral, dia adalah ruang interaksi sosial yang perlu menciptakan nilai-nilai dan norma-normanya sendiri. Komunikasi internet tetap harus diletakan dalam kerangka jaringan nilai dan prinsip tindakan normatif, yaitu: penghargaan terhadap martabat, hak asasi manusia, dan berbagai tindakan non diskriminasi serta perlindungan kelompok- kelompok rentan (minoritas). Karena, bagaimana pun juga berbicara tentang identitas moral, melibatkan lebih dari sekadar melindungi hak-hak seseorang terhadap orang lain atau bahkan negara. Identitas moral selalu menyangkut tanggung jawab tertentu, baik pada tingkat sosial (hukum) maupun pada level individu. Kita tahu bahwa penindasan individu dalam jejaring sosial tidak akan hilang hanya karena penegakan peraturan dan hukum, tetapi perlu pula kesadaran hakiki bahwa individu memiliki kewajiban untuk melindungi orang lain dari kekerasan media sosial dan internet (cyber crime). Karena itu ketika seseorang memutuskan untuk bebas berbagi data yang menyangkut ruang lingkup privasinya di media sosial, harus disadari pula bahwa keputusan tersebut tidak hanya mempengaruhi kebebasan dirinya sebagai individu tetapi dia memiliki implikasi luas bagi semua pengguna lainnya.
Secara umum kita bisa menempatkan beberapa standar etis untuk menghindari hoax ketika memanfaatkan media sosial sebagai sarana membangun relasi dengan orang lain. Isu-isu terpenting etika bermedia dalam masyarakat plural perlu menjadi patokan utama dalam memanfaatkan medi a sosial. Kita bisa menyebut beberapa standar etis konstitusional tersebut, antara lain: Pertama, kepatuhan kepada hukum media (sosial) untuk menghindari perilaku fitnah. Kita tahu bahwa fitnah adalah bagian dari kritik, tetapi kritik dengan cara fitnah selalu berorientasi pada penyerangan terhadap reputasi dan karakter seseorang. Penegakan hukum media (sosial) yang tertuang dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik perlu mendapat perhatian serius warga negara pemakai media sosial. Kedua, menjunjung tinggi akurasi dalam penyampaian pesan. Akurasi pesan dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya penentuan sumber pesan/berita/informasi yang dapat dipercaya. Hoax selau dipastikan berasal dari sumber yang tidak jelas. Media massa selalu berpegang pada prinsip check and recheck untuk menguji akurasi.
Mempertimbangkan secara etis sensitivitas keragaman budaya (multikulturalisme). Konsep sensitivitas budaya termasuk di dalamnya, antara lain: keragaman bahasa dan tafsir atas bahasa; sensitivitas terhadap pandangan masyarakat minoritas; preferensi gender yang berbeda; penghargaan atas kelompok yang diperlakukan khusus dalam masyarakat, misalnya orang-orang cacat atau orang-orang dengan HIV/AIDS; dan penghargaan atas perbedaan ras dan suku dalam masyarakat. Masyarakat digital yang sering kali menyebut dirinya sebagai homo digitalis, seharusnya menjadikan patokan-patokan normatif ini, tidak saja untuk membuat pesan media sosial, tetapi juga menerima dan mencernakan setiap pesan yang tersaji lewat media-media sosial.
Kerangka Etika Diskursus dalam Media Sosial
Etika diskursus merupakan terminologi yang tak asing lagi dalam filsafat Jerman. Secara epistemologi berakar pada etika Kant yang kemudian dielaborasi oleh generasi kedua Mazhab Frankfrut, Habermas. Untuk menemukan sebuah kebenaran melalui penalaran, manusia senantiasa membutuhkan semua akses informasi dan gagasan. Jika manusia tetap berpegang teguh pada logikanya, kebenaran akan muncul melalui pergulatan informasi dan gagasan. Maka perubahan sosial tidak akan terjadi melalui kekerasan, melainkan muncul melalui proses diskusi dan persuasi. Lebih dari itu, dalam konteks ini, titik tekan yang harus dipahami terletak pada diskursus. Diskursus Habermas bertujuan untuk mencapai sebuah konsensus intersubyektif melalui percakapan- percakapan (baik verbal maupun literal). Namun sementara konsensus pada tindakan komunikatif sudah diterima secara spontan dan dipakai oleh para peserta komunikasi tanpa pikir panjang lagi, para peserta diskursus kali ini harus menghasilkan konsensus lagi, tetetapi pada taraf yang reflektif. Sebab diskursus adalah bentuk refleksi dari tindakan komunikatif. Artinya, diskurus adalah kelanjutan tindakan komunikatif dengan memakai sarana lain: argumentatif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa diskursus menandai bentuk komunikasi modern di mana orang tidak begitu saja menerima sesuatu dengan pemahaman-pemahaman yang berkembang, melainkan menguji hal itu dengan pertimbangan rasional. Pendek kata, diskursus merupakan bentuk komunikasi yang bersifat kritis dan terbuka. Dan refleksi diri membutuhkan perpaduan antara rasio dan kepentingan emansipatoris atau mensyaratkan adanya rasionalitas komunikatif. Rasionalitas komunikatif adalah salah satu prasyarat wajib ada jika ingin mendambakan pola “komunikasi yang sehat”. Komunikasi sehat adalah komunikasi yang berorientasi pada konsensus untuk saling memahami. Untuk mencapai kesepakatan itu, setiap rasionalitas yang melekat dalam praktik tindakan komunikatif harus didasarkan pada alasan. Dalam bahasa yang lebih jelas, rasionalitas orang-orang yang berpartisipasi dalam praktik komunikatif ini, baik di dunia nyata atau maya ditentukan oleh apakah mereka bisa, dalam keadaan yang sesuai, memberikan alasan atas apa yang mereka katakan atau diakui secara intersubyektif. Dengan demikian, jika ada media sosial entah akun atas nama individu atau kelompok tertentu yang menyuguhkan ungkapan tanpa adanya alasan-alasan yang rasional maka ia membiarkan terjadinya kematian rasionalitas komunikatif atau hilangnya etika komunikasi.
KEBOHONGAN DALAM TINJAUAN ETIS-TEOLOGIS
Etika Secara Umum
Pada umumnya, sistem-sistem etika masuk ke dalam dua kategori: nonabsolutisme dan absolutisme. Dalam kategori nonabsolutisme, ada antinomianisme, situasionisme, dan generalisme. Dalam kategori absolutisme, ada absolutisme total, absolutisme konflik, dan absolutisme bertingkat.
Antinomianisme ; mengklaim bahwa berbohong adalah tidak benar atau salah.
Situasionisme ; mengklaim bahwa berbohong kadang-kadang benar. Hanya ada satu hukum universal situationisme, seperti yang dimiliki oleh Joseph Fletcher, mengklaim hanya ada satu hukum moral mutlak yaitu kasih. Kasih adalah satu-satunya yang mutlak, dan berbohong mungkin dapat dilakukan untuk mengasihi. Segala sesuatu yang lain adalah relatif, hanya satu hal yang absolut.
Generalisme ; mengklaim bahwa berbohong pada umumnya salah, tetapi di dalam kasus-kasus khusus peraturan yang umum ini dapat dilanggar karena tidak ada hukum moral universal, maka benar atau tidaknya suatu kebohongan bergantung pada hasilnya.
Absolutisme Total ; mengklaim bahwa berbohong selalu salah.
Absolutisme Konflik ; mengklaim bahwa berbohong dapat dimaafkan. Absolutisme konflik mengakui bahwa hidup di dunia yang jahat di mana hukum-hukum moral mutlak kadang-kadang mengalami konflik yang tidak terhindarkan. Dilema moral ini kadang-kadang tidak dapat dihindarkan, tetapi orang yang melakukan tetap bersalah, maka perlu meminta pengampunan kepada Allah.
Absolutisme Bertingkat ; mengklaim bahwa berbohong kadang-kadang benar. Terdapat hukum-
hukum yang lebih tinggi. Absolutisme bertingkat menganggap ada banyak hukum moral absolut dan hukum-hukum itu kadang bertentangan satu dengan yang lain. Namun, ada beberapa hukum yang lebih tinggi daripada yang lain. Dengan demikian, ketika terdapat satu pertentangan yang tidak dapat dihindarkan, maka kewajibannya adalah menaati hukum moral yang lebih tinggi. Jadi penganut
absolutisme bertingkat mayakinkan bahwa berbohong demi sesuatu yang baik adalah benar.
Etis-Teologis
“Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu” (Keluaran 20:16). Firman ke Sembilan ini berkenaan dengan segala yang kita ucapkan dan segala yang kita tulis. Lidah kita, pena kita, mesin tulis kita, atau alat apapun yang kita pergunakan termassuk media sosial yang kita miliki, adalah alat -alat perkataan, dan dengan sadar atau tidak, alat-alat itu dapat dibaktikan kepada Allah Kebenaran atau kepada bapa segala pendusta. Itulah yang diuraikan rasul Yakobus dalam suratnya (Yak. 3:2 -12). Yesus adalah Raja Kebenaran. Tetapi saksi-saksi dusta yang terlihat di halaman depan rumah Pontius Pilatus bersuara dengan gemuruh. Hal ini menurut Verkuyl, bahwa kita umat manusia pada dasarnya suka berbohong dan mengabdi kepada kebohongan. Tetapi di situpun kita lihat Raja Kebenaran tetap sebagai Pemenang. Kita ini hidup dalam zaman, di mana kemungkinan-kemungkinan untuk mengucapkan kesaksian secara umum tentang segala sesuatu, telah bertambah banyak sekali. Kita hidup dalam abad teknik komunikasi. Itu berarti, bahwa kemungkinan untuk berbohong secara umum dan kemungkinan untuk mengatakan yang benar secara umum, juga bertambah banyak. Bahaya sangat besar, bahwa alat – alat komunikasi tidak dipakai untuk mengabdi kepada kebenaran, melainkan kepada kebohongan. Dan lapangan di mana orang lebih banyak berbohong ialah lapangan politik. Namun Alkitab berbicara bahwa, jika kita mempunyai rasa hormat terhadap Allah, maka haruslah kita mempunyai rasa hormat terhadap fakta-fakta pula. Rasa hormat terhadap fakta-fakta haruslah dipupuk juga dalam theologia. Karena dalam ilmu sejarahpun harus ada rasa hormat terhadap fakta-fakta. Jika ilmu sejarah, demi kepentingan propaganda nasional dan propaganda politik, menceritakan dongeng-dongeng dan bukan fakta-fakta serta memberikan gambaran-gambaran yang bertentangan sama sekali dengan kenyataan, maka ilmu sejarah itu menjadi seperti perempuan sundal, yang menjual dirinya kepada kebohongan dan propaganda. Terakhir untuk penegasan secara teologis bagaimana kita menilai kebohongan atau hoax yang telah mewabah ; “Yesus Kristus (Raja Kebenaran) memanggil kita mengabdi kepada kebenaran dan berjuang melawan kebohongan. Ini merupakan suatu panggilan yang tampaknya janggal di tengah-tengah dunia yang kelihatannya kebohongalah yang akan menang”.
Dari uraian diatas telah kita pahami bahwa hoax merupakan salah satu dampak negative dari perkembangan teknologi informasi berupa media sosial. Dengan tersedianya media sosial penyebaran hoax mendapat kemudahan dengan tujuan-tujuan yang beragam. Namun bila ditelisik dari segi etika komunikasi maka penyebaran hoax di media sosial merupakan sesuatu yang secara aksiologi tidak etis. Karena penyebaran hoax dapat berdampak pada ketidakstabilan kehidupan politik dan masyrakat. Juga itu sebagai bukti hilangnya rasa kemanusiaan kita dalam ranah saling menghormati dalam konteks kehidupan yang plural. Demikian juga secara etis teologis, telah kita sebutkan bahwa rasa hormat terhadap Allah tercermin dalam rasa hormat terhadap fakta-fakta (bukan hoax). Demikianlah perkataan Yesus dalam Matius 5:37, “Jika ya, hendaklah kamu katakana : ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan : tidak. Apa yang lebih dri pada itu berasal dari si jahat.” ; kiranya terus bergema di tengah maraknya hoax.
DAFTAR PUSTAKA
….., “Media Sosial Yang Kian Memprihatinkan” dalam Majalah ITC Edisi No. 57 – Thn – Juni 2017, 4
Aditiawarman, Mac, dkk., Hoax dan Hate Speech Di Dunia Maya, (Padang : Lembaga Kajian Aset
Budaya Indonesia, 2019
Ali, Mukti, “Antara Komunikasi, Budaya dan Hoax” dalam Melawan Hoax Di Media Sosial dan Media
Massa, Yogyakarta : Askopis, 2017
Budiman, Ahmad, “Berita Bohong (Hoax) Di Media Sosial Dan Pembentukan Opini Publik” dalam
Majalah Info Singkat Pemerintahan Dalam Negeri Vol. IX, No. 01/I/Puslit/ Januari/ 2017
Budiman, Hikmat, Lubang Hitan Kebudayaan, Yogyakarta : Kanisius, 2002
Bungin, H. M. Burhan, Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta : Kencana Prenadamedia Grup, 2014
Cangara, H. Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009
Effendy, Onong Uchjana, Dinamika Komunikasi, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1996
Fensi, Fabianus, “Fenomena Hoax: Tantangan terhadap Idealisme Media & Etika Bermedia” dalam Bricolage : Jurnal Magister Ilmu Komunikasi Versi Online: http://journal.ubm.ac.id/ Hasil Penelitian Vol.4 (No. 2 ), 2018
Hartono, Dudi, Era Post-Truth: Melawan Hoax dengan Fact Checking” dalam Prosiding Seminar
Nasional Prodi Ilmu Pemerintahan 2018
Juliswara, Vibriza, “Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam Menganalisis
Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial” dalam Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4
No. 2 , Agustus 2017
Kurnia, Dedi Syah, Komunikasi Lintas Budaya : Memahami Teks Komunikasi, Media, Agama, dan
Kebudayaan Indonesia, Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2016
Mauludi, Sahrul, Seri Cerdas Hukum : Awas Hoax!, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2018
Mufid, Muhamad, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012
Mustika, Rieke, “Etika Berkomunikasi di Media Online Dalam Menangkal Hoax” dalam Jurnal Diakom, Vol. 1 No. 2, Desember 2018
Mustofa, Saiful, “Berebut Wacana: Hilangnya Etika Komunikasi di Ruang Publik Dunia Maya” dalam
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat Vol. 15, No 01, Juni 2019
Prasetyo, Yosep Adi, “Hoax” dalam Berita Dewan Pers, Etika Edisi September 2018
Rahadi, Dedi Rianto, “Perilaku Pengguna Dan Informasi Hoax Di Media Sosial” dalam Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan Vol. 5 No. 1 2017
Simarmata, Janner, dkk., Hoaks dan Media Sosial : Saring Sebelum Sharing, (Medan : Yayasan Kita
Menulis, 2019
Sudibyo, Agus, Jagat Digital : Pembebasan dan Penguasaan, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia,
2019
Suprapto, Tommy, Pegantar Teori Komunikasi, Yogyakarta : Media Pressindo, 2006
Suryanto, Adi dan Muhammad Taufiq, Analisis Isu Kontemporer, Jakarta : Lembaga Administrasi
Negara, 2019
Verkuyl, J., Etika Kristen : Kapita Selekta, Jakarta : BPK-GM, 1986
Wahyudin, Uud dan Kismiyati El Karimas, “Etika Komunikasi Di Media Sosial” dalam Prosiding
Seminar Nasional Komunikasi 2016
Leave a Reply